Angelina Yofanka di Mata Ibunya
Angelina Yofanka ditemukan tak bernyawa setelah hilang selama empat 
hari saat melakukan arung jeram bersama Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam 
Ganesha ITB di Sungai Cikadang, Garut, Jawa Barat, Rabu, (09/02). 
Kejadian ini membuat orang tuanya sangat kehilangan. Fanka adalah sosok 
yang dirindukan dan harapan keluarga.
Angelina Yofanka biasa dipanggil Fanka lahir di Jakarta 11 Juli 1992 
adalah anak sulung dari pasangan Subiakto (50), dan Katrin (47). Ia 
memiliki seorang adik bernama Rendy Bernandus Randiyanto yang kini masih
 duduk di kelas 11, SMA Kanisius, Jakarta.
Rabu siang (09/02) di rumah duka Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat 
(RSP-AD), Jakarta Pusat, KabarKampus berkesempatan berbincang dengan 
Katrin, ibu Fanka. Dalam suasana yang sedih, Sang Ibu tetap terlihat 
tegar.
Ia pun menceritakan sosok anak sulungnya yang kelak menjadi harapan keluarga.
Katrin memulai cerita ketika Fanka menunjukkan sertifikat juara 
nasional kejuaraan nasional arung jeram Ciberang tahun 2011. Ia terkejut
 saat itu. Sebab yang ia ketahui hobi Fanka adalah mendaki gunung.
Namun Katrin selalu percaya dengan pilihan anaknya. Pada kegiatan 
arung jeram, hari Minggu lalu (05/02), ia pun mengizinkan Yofanka 
mengikuti kegiatan tersebut. “Fanka dapat berenang,” kata Katrin. Selain
 itu selama hidup ia belum pernah masuk rumah sakit. “Fanka adalah anak 
yang kuat.”
Tak ada firasat apapun sebelum meninggalnya Yofanka, ia hanya pamit untuk rafting.
Ketika masuk Institut Teknologi Bandung pada 2009 lalu, dari puluhan 
kegiatan ekstra kampus di ITB, Fanka memilih pecinta alam untuk 
menyalurkan jiwa petualangannya. Meski perempuan ia menyukai kegiatan 
ekstrim.
“Ia menemukan apa yang diinginkannya.”
Pemilihan jurusan Teknik Kelautan pun merupakan penggambaran jiwanya 
yang menyukai petualangan dan alam bebas. Fanka juga menyukai pantai. 
Waktu itu Katrin sempat menanyakan kenapa anak sulungnya tidak memilih 
jurusan kedokteran. “Kuliahnya lama,” kenang Katrin.
Meski punya segudang kegiatan, Fanka punya komitmen yang tinggi 
menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Nilai perkuliahannya selalu bagus. 
“Ketika dia liburan maka kesempatan itu ia gunakan untuk berpetualang, 
namun ketika kuliah maka ia fokus kepada pelajaran.”
Fanka pun pernah mendapatkan beasiswa di ITB lantaran meraih nilai 
yang  tinggi. Komitmen seperti itulah  yang membuat Katrin percaya 
dengan setiap pilihan anaknya.
“Dia anak yang pintar, dan sungguh-sungguh terhadap apa yang dikerjakannya.”
Katrin terus bercerita, seperti tak ada habisnya. Sementara di 
ruangan, satu demi satu sahabat datang memberikan penghormatan di depan 
peti mati yang diatasnya terpajang foto Fanka dan salib Kristus. Air 
mata mereka jatuh. Subiakto, ayah Fanka, hanya diam. Matanya terlihat 
sembab dan merah. Katrin terus bercerita.
Fanka sangat menyukai anak-anak. Di waktu senggangnya pada hari 
Sabtu, ia mengajar anak-anak yang tidak mampu di Bandung. Kepedulian itu
 sudah dilakukannya sejak SMA. “Fanka mengajar anak-anak yang tidak 
mampu di sekitar rumah.”
Bagi Katrin, Fanka adalah harapan dan tumpuan keluarga. Sosok yang 
hangat dan terbuka. Dengan adiknya ia sangat akrab, kalau jalan sudah 
seperti pacaran. Selain itu kepada teman-temannya, ia pun bisa membaca 
situasi untuk membuat temannya senang.
“Fanka tengah sibuk belajar bahasa Prancis, ia bercita cita 
mendapatkan beasiswa S2 ke Prancis setelah lulus,” kenang Katrin. 
Suaranya pelan.
Namun Tuhan berkehendak lain. Putri sulungnya harus pergi untuk selama-lamanya. Semua mimpi itu musnah seketika.
Tak ada orang tua yang tidak terpukul dengan kehilangan seorang anak,
 namun Katrin telah mengikhlaskan kepergian Angelina Yofanka. “Fanka 
meninggal karena sesuatu yang dicintainya, berpetualang.”
.jpg)


